Tapping the Earth’s Veins

Gold mining in Aceh is scarring the pristine landscape of Alue Saya Hill in Geumpang subdistrict in Pidie. The dense forest has been broached, and the trilling of birds replaced by the thudding of ammers and the creak of crowbars. Miners come from as far as Java and Sulawesi to try their luck,saying they can get Rp 280,000 ($29.40) per gram of gold. Large chunks of rock are removed from the pits, crushed, then processed by machine. Nuggets of the precious metal are separated using mercury, then smelted into pure gold. Locals say they are concerned by the lack of regulation of the industry and the environmental damage caused by the miners.
These photographs published in the newspaper the Jakarta Globe, Friday 20 November 2009 on page ayewitness : Photos and Text Suparta
Read more

Mimpi Sang Penakluk Raja


Tulisan:Salman Mardira
TAK ADA yang istimewa pada sosok Syarwani Sabi. Tubuhnya mungil, pakaiannya lusuh, kulitnya legam keriput dimakan usia yang sudah 72 tahun.
Di balik kesederhanaan itu, ia adalah sosok luar biasa; si raja rimba saja bisa takluk di tangannya. “Sudah 100 ekor lebih saya tangkap harimau,” katanya, di Gunung Sikundo, Kecamatan Pante Ceurmen, Aceh Barat, Rabu (28/10-09).
Syarwani, ayah 14 anak, merupakan warga Sawang Teubei, Kecamatan Kawai XIV, Aceh Barat.
Mulai masuk hutan sejak kecil, bersama orangtuanya. Ia membaca gerak-gerik ayahnya menaklukkan ganasnya harimau. “Saat itu saya masih sekolah Jepang buat (Sekolah Rakyat setingkat SD sekarang-red),” kisahnya. “Ayah juga sering melarang saya ikut, karena saya masih kecil.”
Hobi yang menggebu, membuatnya ngotot ingin seperti sang ayah. Ia beruapaya membaca bahasa tubuh harimau dan belajar cara berinteraksi dengan binatang itu.
Sang ayah akhirnya luluh. Saat persyaratan diajukan terpenuhi, ‘sang guru’ pun menurunkan ilmu serta doa yang harus diamalkan. “Syaratnya kita harus sabar, tidak somobong dan harus suka membantu.”
Selepas orangtuanya tiada, berbekal ilmu diberikan, ia melanjutkan perjuangan sang ayah. Beranjak remaja, Syarwani mulai berpetualang sendiri di hutan. Di mana ada kabar harimau ‘mengamuk’, ia jadi penawar. Dengan cara serba tradisional, satu satu raja rimba takluk di tangannya.
Namanya pun kian melejit di kalangan warga pelosok barat-selatan Aceh. Nyaris saban hari ia dipanggil untuk meredam ganasnya raja rimba. Tiap harimau yang ditangkap, warga membayar jerih Syarwani seikhlasnya. “Saya tidak pernah meminta, saya suka membatu orang.”
Saat itu, kata Syarwani, harimau yang ditangkap, langsung dihabisi oleh warga.
Berkah tsunami mencerdaskan warga. Setelah banyak tumbuh lembaga pelindung satwa dan pecinta lingkungan di Aceh, saban satwa dilindungi serupa harimau tertangkap, warga menyerahkan ke pihak itu.
Konflik antara satwa dan manusia tinggi di Aceh. Wildlife Conservation Society (WCS) mencatat, kurun 2007-2009, ada 17 kali terjadi. 13 kali pada 2007 dan dua kali masing-masing di 2008 serta sepanjang 2009.
“Paling banyak terjadi di Aceh Selatan,” kata Munawar Kholis, pekerja WCS, Oktober lalu.
Di bumi pala itu, Syarwani, punya kesan tak terlupakan sepanjang hidupnya. 2007 lalu, usai menaklukkan seekor harimau yang telah memangsa enam manusia (lima di antaranya tewas) di Puelumat, Kecamatan Labuhan Haji, karirnya melonjak drastis.
Syarwani berhasil menangkapnya setelah empat pawang dari Aceh dan Sumatera Barat lain gagal.
Usai itulah, Balai Konservasi Sumbar Daya Alam (BKSDA) Aceh menasbihkannya sebagai pawang harimau se-Aceh melalui selembar SK (surat keputusan). Kini, Syarwani rutin menerima gaji atas profesi langka itu saban bulan.
Setengah abad lebih bergelut dengan raja hutan, Syarwani sadar akan usianya. Ia mengaku sudah menurunkan ilmunya kepada tiga dari sembilan anaknya yang masih hidup.
Tapi, kata dia, anaknya tak seagresif dirinya. Meski sudah bisa, tapi jarang berpetualang. “Mungkin ketika saya sudah meninggal nanti, mereka akan berubah dengan sendirinya,” kata dia.
Syarwani juga bersedia memberi ilmunya kepada siapa saja yang yakin ingin mengamalkannya. Tapi, kata dia, syaratnya harus bertanggungjawab. “Masalahnya, sekarang orang yang bertanggungjawab susah kita dapat.”
Ia berpesan agar masyarakat tak merambah hutan. Konflik satwa manusia, menurutnya, muncul karena habitat mereka sudah terusik. “Harimau itu pada dasarnya seperti aulia Tuhan, dia tidak akan mengganggu manusia. Dia butuh ketenangan,” ujarnya.
Syarwani tak segagah dulu. Tubuhnya mulai ringkih, rambut dan berewoknya semua telah tersapu uban. Meski mengaku tak ada biaya, di sisa hayatnya kini, ia sangat berharap bisa bertandang ke Tanah Suci, menunaikan Ibadah Haji. “Ini cita-cita di akhir hidup saya.” []
Read more