JELAGA DI KAKI BUKIT

Pagi masih berkabut. Matahari masih enggan menunjukkan cahaya saat Apa Maun menapaki lereng bukit di pedalaman Kabupaten Pidie, Aceh. Pagi itu, Apa Maun bergegas menuju hutan. Di bahu kiri dia sematkan tas berisi bekal, jerigen premium isi lima liter dipikul di bahu kanan. Ia masih memanggul sinshaw. Satu jam lebih Apa Maun berjalan menyusuri jalan bekas tapak kerbau. Setelah rehat sejenak, mesin sinshaw dinyalakan.Derunya membahana membenamkan suara makhluk hutan. Mata mesin dia hujam pada kayu tegak berukuran 3 kali pelukan orang dewasa dengan tinggi lebih 30 meter. Profesi penebang telah Apa Maun geluti sejak sebelum menikah. Jafar sadar kerjanya itu akan berdampak terhadap lingkungan. Namun tak ada pilihan lain, hanya menebang keahlian yang dia miliki. Dari sini, asap dapurnya bisa terus mengepul untuk menghidupi istri dan empat anaknya. “Menebang pekerjaan yang berat dan berisiko, kalau ketahuan aparat pasti ditangkap dan tebusannya tidak sepadan setahun menebang,” ungkap pria 40 tahun itu. “Saya ingin beralih profesi, seandainya ada pekerjaan lain.” Apa Maun tak sembarang menebang. Ia membabat hutan hanya bila ada pesanan. Paling banter, dalam sehari Jafar –dan tiga pekerjanya, “hanya” mengolah sekubik kayu jadi. Dari satu kubik kayu yang berhasil ditebang, ia hanya kebagian Rp 300,000. Jafar juga mempekerjakan 3 tenaga pengakut dengan imbalan Rp 200.000 perkubik. Kebijakan jeda tebang yang diberlakukan Gubernur Irwandi Yusuf pada 6 Juni 2007 lalu, tak menyurutkan Apa Maun dan –mungkin—ribuan pembalak lain yang mencari penghasilan dari menggunduli hutan. Data yang dilansir Greenomics Indonesia, sedikitnya 200.329 hektar hutan di Aceh telah rusak sejak 2005 dengan alasan untuk kebutuhan rekosntruksi pascatsunami. Padahal, Pemerintah Aceh sedang giat-giatnya mengampanyekan pelestarian hutan. Sebab, Aceh telah menandatangani pakta penjualan karbon ke sejumlah negara penghasil emisi. Nyatanya, hutan Aceh terus tergerus saban hari. Greenomics Indonesia juga mendata, kerusakan hutan paling parah terjadi di kawasan barat Aceh seluas 56.539 hektar, disusul wilayah selatan (48.906 hektar), pantai timur (30.893 hektar), dan kawasan tengah (19.516 hektar). Akibatnya, 47 daerah aliran sungai (DAS) mengalami kerusakan karena berada di areal illegal logging. “Kerusakan ini mengancam fungsi ekologi,” kata Vanda Mutia Dewi, Koordinator Program Nasional Greenomics Indonesia. Ini dia yang menyebabkan konflik hewan dan manusia terjadi. Amukan gajah liar dan harimau Sumatera terus mengancam warga di pinggir hutan, selain banjir bandang dan longsor yang saban musim hujan sudah menjadi langganan. Jika tak segera dicegah, rimbunan hutan Aceh yang menampung ribuan satwa bakal tinggal kenangan. Aceh menjadi tandus! []
Read more