Kebakaran Biro Rektor (Dok)

Petugas kepolisian yang dibantu warga menyelamatkan traktor dari kobaran api, ketika terbakarnya Gedung Biro Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Kamis (11/9/2008) sekitar pukul 02:50 dini hari. Empat (4) Armada pemadam yang datang satu jam setelah kebakaran tidak mampu menjinakkan api, konon seluruh dokumen berharga di gedung itu tidak sempat diselamatkan. Kerugian di taksir mencapai Rp10 miliar lebih. Api baru padam sekitar pukul 06.30 Pagi
Read more

Pencari Nener

Apa Din Warga Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar menjaring Nener (bibit ikan bandeng)di tepi laut Balang Ulam. Penangkapan Nener di Aceh masih dilakukan secara tradisional.
Read more

Masjid Raya Baiturrahman


Suasana Masjid Raya Baiturrahman pada malam hari saat perayaan Isra’Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW 1430 H. Mesjid ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612. Pada April 1873 sempat dibakar habis oleh tentara Belanda dalam agresi kedua yang ikut menewaskan pimpinan agresi Mayjen Khohler dan diabadikan tempat tertembaknya dengan monumen kecil di bawah pohon ketapang/geulumpang dekat pintu masuk sebelah utara mesjid. Enam tahun pasca pembakaran dibangun kembali dengan konstruksi satu kubah pada masa Gubernur Militer Belanda Jenderal Mayor Vander, peletakan batu pertama dilakukan Tengku Qadhi Malikul Adil. Perluasan pertama dilakukan Pada tahun 1935, pada bahagian kanan dan kirinya juga menambah dua kubah. Seiring waktu perluasan demi perluasan terus dilakukan, terakhir pada tahun 1991, di masa Gubernur Ibrahim Hasan meliputi perluasan halaman depan dan belakang, penambahan dua kubah, juga membangun menara utama.
Read more

Mendulang Untung di Alue Suloh

PINGGIRAN sungai Alue Suloh berubah wujud. Pondok-pondok kecil berdiri di pasir dan bebatuan sungai yang berjarak 28 kilometer dari pusat Kecamatan Geumpang, Pidie. Hutan di sekitar sungai berair jernih itu tak lagi hanya dihiasi irama kicauan burung. Ayunan linggis dan cangkul para penggali pasir bersahutan silih-berganti, membentuk irama tersendiri.

Di belantara hutan tropis yang dingin, pria, wanita –bahkan anak-anak—mengadu nasib mencari emas di antara bebatuan dan pasir di aliran sungai itu.

Aktivitas penambangan logam mulia ini sudah berlangsung dua bulan belakangan ini. Para pencari emas tak hanya datang dari Geumpang: ada yang datang dari Tangse, Mane, bahkan dari Meulaboh (Aceh Barat) sekalipun.

Tak ada klaim wilayah. Yang ada hanya kesepakatan tak tertulis di antara para pendulang: tak boleh membawa alat berat atawa mesin untuk mengeksploitasi emas. Mendulang harus dilakukan secara tradisional, menggunakan linggis, cangkul, dan skop. Jika kesepakatan ini dilanggar, para pendulang akan diusir.


Kesepakatan ini membuat lokasi eksploitasi emas ini tak ricuh. Irman, 32 tahun, sudah berminggu-minggu mencari keberuntungan di aliran sungai ini. Jika mujur, ia bisa mendapatkan lima gram emas.

“Hampir tak ada pencari emas yang pulang dengan tangan kosong,” kata warga Geumpang ini. “Per gram emas yang kami dapatkan dibeli 300 ribu rupiah per gram.”


Kandungan emas tak hanya ditemukan di aliran sungai Alue Suloh ini. Sebuah survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan, kandungan emas juga tersebar di Kecamatan Mane dan Tangse. Luasnya mencapai 50.000 hektar.

Pemerintah sudah memberi lampu hijau bagi lima perusahaan penambangan untuk mengeruk emas di tiga kecamatan ini. Kelima perusahaan yang beroleh izin penambangan yaitu PT Bayu Nyohoka, PT Krueng Bajikan, PT Parahita Sanu Setia, PT Bayu Kamona Karya, dan PT Magelanik Garuda Kencana.

Jika lima perusahaan ini memulai eksplorasi, Irman dan puluhan warga yang selama ini menambang secara tradisional, mungkin, hanya bisa menonton dari jauh hasil bumi daerah mereka dikeruk. []
Read more

Ie Bu Puedah

Anak-anak Bueng Bak Joek, Kecamatan Kota Baru, Aceh Besar antre untuk mendapatkan Ie bu Puedah (sejenis bubur kanji) yang dimasak di menasah setempat. Tradisi memasak Ie Bu Puedah sudah dilakukan masyarakat menasah Bueng Bak Joek sejak jaman penjajahan dulu, untuk menjamu mujahid yang berperang melawan Belanda, sewaktu-waktu turun ke kampung mereka ketika berbuka puasa. Tradisi tersebut terus dipertahankan sampai kini.
Read more

Dampak Illegal Logging

Sedikitnya 85 Kepala Keluarga di Desa Masen, Sampoiniet, Aceh Jaya, kini hidup memprihatinkan, banjir bandang disertai lumpur menyatroni Desa sampai 6 kali dalam setahun sejak akhir sembilan puluhan. Ini terjadi setelah beroperasinya perusahaan pemegang HPH di kawasan hutan mereka pada era 80-han. Walau perusahaan itu telah hengkang, namun menyisakan prahara dan kemiskinan bagi warga, akibat ratusan hektar kebun kopi mati diterjang banjir. Kini warga Masen hidup dibawah garis kemiskinan setelah masa jaya dengan kopi, konon kualitas ekspor.
Read more

Nelayan Depik

Nelayan Bintang Aceh Tengah melepas ikan Depik (resbora leptosoma) di jaring, yang baru diangkat dari Danau Laut Tawar. Belakangan populasi Ikan Depik di Danau tersebut makin berkurang. Untuk mencegah kepunahan ikan tersebut, pemerintah Aceh Tengah rutin melakukan Restocking (menabur benih), selain menentukan alat tangkap bagi para nelayan di sekitar Danau.
Read more

Saman Gayo

Saman Gayo, tari yang menggunakan kombinasi tepuk tangan, memukul pangkal paha, dada, dan sinkronisasi menghempaskan badan ke berbagai arah. Tari ini dilakukan secara berkelompok, sambil bernyanyi dengan posisi duduk berlutut dan bersaf tanpa menggunakan alat musik pengiring. Tari warisan ulama besar Aceh, Syah Saman ini, biasa ditampilkan dalam perayaan peristiwa-peristiwa penting dan acara adat.
Read more

Gaya Koboi Sang Gubernur

“Cuaca hari ini baik, walau berawan. Penerbangan dengan saya akan aman. Saya telah terbang lebih 8.000 jam,” ujar Rass, pilot Cassa. Mendengar pernyataan pilot asal Amerika itu membuat para penumpang riang.

Namun sejenak kemudian penumpang cemas. ”Tapi kali ini kalau tidak nyaman itu karena pak gubernur yang menjadi pilot,” kata Rass. Gubernur yang dimaksud Rass adalah Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh.

Penumpang hanya bisa nyengir, walau di langit awan gelap terlihat. Rass tidak bercanda, Irwandi memang menjadi pilot penerbangan dari Bandara Cut Ali, Aceh Selatan, menuju Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar.

Di kursi penumpang pada penerbangan eksklusif itu duduk sejumlah pejabat, di antaranya Hanifah Affan (Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan), Munirwansyah (Kepala Bappeda), Adnan Beuransyah (Juru bicara Partai Aceh), Nurdin F Jos (Kabid Humas Pemerintah Aceh), dan tiga kuli berita. Saya sendiri, satu-satunya wartawan media cetak yang berkesempatan ikut rombongan ini.

Sejak berangkat pada tanggal 6-9 Desember, saya mendapat tugas tambahan. Tidak dari Harian Aceh, melainkan dari Irwandi. Ia memberi kamera Sony SLR miliknya untuk dokumentasi. Jadi, sebelum Irwandi tidur, saya terus menenteng tiga kamera. Lagak Irwandi persis bos media bila berpesan, ”kalau kena hujan dan jatuh yang dua itu boleh, tapi Sony jangan.”

“Kali ini kita akan terbang lebih rendah di antara perbukitan, dan penerbangan akan sedikit lebih lama dari biasanya,” kata sang pilot, Irwandi.

Sekitar jam 13,15 WIB, pesawat lepas landas dari Bandara Cut Ali, mengitari hamparan kebun kelapa sawit dan perbukitan. Pesawat terbang dengan nyaman, bahkan beberapa orang lelap selama penerbangan.

Rombongan ini baru saja melakukan kunjungan ke lokasi banjir selama tiga hari, di Trumon, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil. Di dua kabupaten tersebut gubernur menyubang 12 ekor sapi untuk meugang para korban banjir plus uang untuk bumbu masak. Gubernur juga menyumbangkan sembako dan mendengar semua keluh kesah pengungsi.

Kepada bupati yang daerahnya dilanda banjir, Irwandi juga memberikan uang tunai Rp100 juta. Namun dia tidak menjelaskan untuk apa uang tersebut digunakan.

Gubernur salat Idul Adha bersama pengungsi di Mesjid Al-Ihsan Tromon dan pada malamnya dia menginap di rumah seorang warga Tromon. Dalam perjalanan darat, gubernur juga menyetir sendiri mobilnya.

Saat menuju Singkil, Jeep Robicon yang baru dikredit Irwandi selama tiga tahun sempat terperosok di Gunung Tengku Mangat. Namun, Irwandi berhasil mengendalikan mobilnya yang hampir masuk jurang yang terjal, walau mobil telah keluar badan jalan. Kecuali Irwandi yang masih nyengir, semua penumpangnya pucat basi, yakni anggota DPRA Samsulbahri, Kepala Bappeda Munirwansyah dan Jubir PA Adnan Beuransyah.

Jalan yang licin diyakini menjadi satu penyebab Irwandi kehilangan kendali. Lepas dari lokasi kejadian, Irwandi kembali menyetir mobil, menuju Kota Sulbussalam dan Aceh Singkil.

Sementara itu, sekitar 40 menit penerbangan dari Bandara Cut Ali, Co Pilot melalui pengeras suara. ”Oke saat ini kita berada di atas kota Nagan Raya. Pak Gubernur ingin minum kopi di kota ini dan pesawat akan mendarat sebentar di Bandara Cut Nyak Dhien,” kata Rass. Semua yang di dalam serasa tak percaya mendengar ucapan Rass. Sahkan salah satu dari mereka setengah berbisik mengatakan, ”kok bawa pesawat macam bawa becak saja, di mana ingin buang air berhenti.”

Tiba-tiba semua orang tersentak ketika pesawat oleng. Rupanya Irwandi menukikkan pesawat terlalu cepat untuk menyejajarkan pesawat dengan landasan pacu.

”Gubernur baru bilang ke saya ingin turun di sini ketika kita berada di atas Nagan,” kata Rass.

Pendaratan sukses, tapi tak ada sambutan atau antrian mobil yang menjemput orang nomor satu di Aceh sebagai mana lazimnya. Hanya ‘double cabin’ milik pengelola bandara yang parkir di situ. Kemudian Irwandi meminjam mobil tersebut, 12 penumpang nimbrung di mobil itu; lima di dalam dan yang lainnya di bak belakang.

Rombongan menuju Simpang IV Langkah. Di sana hanya ada satu warung yang buka dengan kursi dan meja acak-acakan. Irwandi memilih dudu di beranda depan dekat rak mie. Sebelumnya dia telah memesan Mie Tumis untuk semua rombongan. Karena sudah siang, seorang pejabat yang ikut rombongan berinisiatif mencari nasi untuk sang gubernur. ”Tidak boleh, hari ini saya makan mie. Semua yang ikut juga harus makan yang sama,” larang Irwandi.

Semula, hampir tak ada yang mengenal Irwandi, termasuk pemilik warung. Setelah dibisik bahwa itu gubernur, pemilik warung baru terlihat sibuk melayani rombongan. Semua minuman kaleng dihidangkan, Irwandi memilih pocariswet dan sprite.

Selang setengah jam nongkrong, Bupati Abdya dan Bupati Aceh Barat beserta wakilnya datang menyambangi. Orang-orang yang tadinya cuek mulai bertanya-tanya ada apa gerangan. Setelah tahu yang dari tadi nongkrong di warung itu adalah gubernur, mereka mulai mendekat dan menyalami.

Setelah satu jam, gubernur pamit dan melanjutkan perjalanan. Kali ini semua penumpang pesawat benar-benar jantungan dibikinnya. Pesawat sering menukik tiba-tiba, bahkan sering terbang di sisi gunung saat melihat jalan buatan USAID. Tepat pukul 17.20 WIB, pesawat mendarat dengan sukses di Bandara Internasional SIM Blang Bintang. (10 December 2008)

Read more

Arung Jeram

Para pecinta olahraga arung jeram menyusuri sungai di Kecamatan Geumpang Pidie. Sungai bebatuan dengan arus deras menjadikan Gempang salah satu kawasan yang cocok untuk wisata arung jeram.
Read more

Tanpa Dimanfaatkan


Air terjun Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, dengan ketinggian lebih dari 50 meter, mempunyai potensi wisata, selain untuk pembangkit listrik. Sayang, air terjun itu tak dimaksimalkan padahal sejumlah Desa sekitar air terjun tersebut tanpa penerang PLN. Foto direkam (14/8/09)
Read more

Amputasi


Anak harimau Sumatera diamputasi kaki kanan depan oleh tim Dokter Hewan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah, Banda Aceh, Jum’at (24/7). Amputasi dilakukan setelah kaki harimau membusuk setelah terkena jerat babi yang dipasang warga di Aceh Singkil.
Read more

Tari Kontemporer


Tari kontemporer episode Nanggroe asal Aceh Tengah, gerakan tari ini mengabungkan seni sastra, seni musik dan seni tari tradisional dataran tinggi Gayo yang menghasilkan gerakan-gerakan eksotik.
Read more

Loen saket!, Na kame ubat Neuk?

Bilah-bilah papan tak rapat, saban hujan, plastik hitam berdebu tak mampu menahan rintik mengguyur tubuh layu itu. Dingin pegunungan Gleu Pucok, Kecamatan Geumpang, Pidie, disergapnya hanya dengan sehelai kain. Sejak empat tahun silam, hanya sehelai sarung menutup tubuhnya.

Di atas dipan berukuran 3x3 meter, Nyak Rahsia, 62 tahun, menghabiskan sisa usia. Segala rutinitas dilakoni di sembilan baris papan, dari makan hingga ‘buang air.’ Hanya selembar tikar alasnya merebahkan badan dan kepala ditindih di bantal kumuh ‘telanjang’.

Di rumah reot, persis kaki bukit, di ujung jalan setapak Desa Pulolhoih ia menanti belas kasih. Rufdat, salah seorang family jauhnya meminjamkan dapur rumahnya untuk ditinggali Nyak Rahsia. Bahkan, memberinya makan.

Sejak empat tahun silam, sebelah tubuhnya tak lagi berfungsi. Sementara lengang dan pungungnya, nyaris tak disisakan jamur. Sejak sulit bergerak, Nyak Rahsia tak lagi bekerja. Sebelumnya, apapun dikerjakannya demi sesuap nasi.

“Inoe Loen hana ek le kukerja, kiban nasib si dara loen, nye loen mete soe tem hiroe anuek loen? (Sekarang saya tidak lagi mampu bekerja, bagaimana masa nasib anak saya, kalau saya meninggal siapa yang mau peduli nasib anak saya),” katanya dengan mata berkaca.

Anaknya, Nyak Puleh, 35 tahun juga dirudung malang. Sejak lahir, ia lumpuh layu dan tuna rungu. Walau demikian Nyan Rahsia sangat menyayangi anaknya itu. Nyak Rahsia punya keinginan sembuh dari penyakitnya, mencari nafkah dan melihat anaknya bahagia.

“Loen saket!, Na kame ubat neuk? (Saya sakit!, kamu bawa obat nak?),” kata Nyak Rahsia, kepada Harian Aceh yang menyambangi rumahnya di Desa Puloloih Geumpang, dengan tatapan kosong.

Kini dua insan tersebut hanya mengharap iba tetangga untuk isi perut, hal yang paling pantang Nyak Rahsia lakukan semasa dia sehat. Dulu dia rela melakukan apa saja demi membahagiakan anak semata wayangnya itu. Walau kini sama-sama tergolek di tempat tidur, Nyak Rahsia tidak mau makan sebelum anaknya makan terlebih dahulu.

“Saya sebisa mungkin berusaha membahagiakan anak saya,” kata Nyak Rahsia dengan suara berat, dalam bahasa Aceh. Menurut dia, sejak suaminya M. Daud meninggal 9 tahun lalu, dia menjadi orang tua tunggal menghidupi anak dan dirinya.


***
Semenjak Nyak Rahsia sakit, kebutuhan sehari-hari dia dan anak semata wayangnya ditanggulangi Rufdad yang telah menjanda sejak 10 tahun lalu. “Walau kadang saya sendiri merasa tidak cukup.” Kata janda lima anak ini

Menurut Rufdat rumah yang kini ditinggali Nyak Rahsia dan Nyak Puleh peninggalan orang tuanya. “Saya berinisiatif memindahkan mereka, karena rumah ini jauh lebih layak untuk mereka, dan mudah bagi saya mengantar makanan, sedangkan rumah mereka jauh dan sudah reot,” kata dia yang mengaku masih mempunyai ikatan famili dengan mereka walau jauh

Selain dirinya, Aku Rufdad, tidak ada famili yang mengurusi mereka berdua, “Dua hari sekali saya juga memandikan mereka,” kata Rufdad yang juga berprofesi petani untuk membesarkan anak-anaknya.

***
Nyak Rahsia dan M. Daut menikah 40 tahun lalu, tak ada pesta mewah yang digelar, namun acara sakral tersebut masih di kenang Nyak Rahsia. tapi kebahagian tampak jelas dari rona kedua pengantin baru tersebut. Namun acara sakral tersebut masih di kenang Nyak Rahsia. “Pelaminan dilaksanakan pada malam hari, di terangi lampu strongkeng, dan debus,” Kata dia mengenang.

Walau tak punya penghasilan tetap, dan bekerja sebagai buruh tani mereka berhajat punya anak banyak sebagai mana keluarga lain di kampung tersebut. “Setahun, dua tahun sampai 6 tahun, belum ada tanda-tanda saya mengandung,” kata Rahsia.

Memasuki tahun ke tujuh perkawinannya, Rahsia merasa kehadiran jabang bayi di perutnya, itu pula yang memicu Rahsia dan Suaminya terus memacu kerja menyimpan bekal menyambut buah hatinya.

Kebahagiaan sesaat sempat dirasakan saat kehadiran bayi perempuan pertama yang telah lama di nanti, namun sejak lahir Bayi tersebut sering sakit-sakitan dan menderita panas secara mendadak, “Sejak lahir dia sering sakit-sakitan,” kata Rahsia yang kemudian sepakat memberi nama anaknya dengan Nyak Puleh (Sembuh).

***
Kini Nyak Rahsia dan Nyak Puleh menunggu uluran tangan untuk menyambung hidup, Triliunan dana segar yang diprogramkan pemerintah untuk rakyat miskin belum ada yang di jatahkan padanya. “Jangankan pejabat kabupaten, pejabat Camat dan Lurah saja tidak pernah datang menjenguk Nyak Rahsia dan anaknya,”terang Rufdat

Selain itu, Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) juga tak menyentuh diri mereka, padahal Nyak Rahsia punya keinginan agar tetap sehat, untuk mengurusi anak semata wayangnya yang cacat mental sejak lahir. “Tak pernah ada petugas pukesmas yang datang kemari,”jelas Rufdat.

Bagi-bagi Sembako, Baju, Sarung, yang kerap dilakukan caleg belakangan ini juga tak pernah menjamah dirinya, “Padahal banyak caleg yang, yang sudah bergerilya di dekat rumahnya, namun tak pernah sampai ke rumah Janda itu,” kata seorang pemuda Pulolhoih.*

Read more

Golongan Putih Kutaradja

SEPEKAN JELANG PEMILU, undangan sampai ke tangannya. Namun Mahfud, sama sekali tak tertarik pada perhelatan lima tahunan itu. Ia memilih menjenguk keluarga di Pidie Jaya daripada ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kelurahan Buerawe Banda Aceh.

Alasannya keengganannya, sederhana; janji para calon legislatif (caleg) tak bisa ‘dipegang.’ Lagi pula, mayoritas kandidat politisi-politisi lama. Bagi pria 28 tahun itu, anggota legislatif tak memikirkan kepentingan rakyat.

“Selama mereka duduk di kursi dewan, apa yang telah di perjuangkan untuk rakyat, selain kepentingan pribadi dan kroninya,” tegasnya Mahfud.

Alasan lain, para caleg dinilainya terlalu haus kekuasaan. Padahal, secara akademis dipandang tak mampu mengemban peran legislasi.“ Dari pada salah memilih, lebih baik menerima hasil pilihan orang,” ujar karyawan swasta ini.

Ketidakpercayaan pada calon anggota legislatif juga menjadi alasan Saini tak menggunakan hak pilihnya. Pria 37 tahun ini mengaku kesal dengan anggota dewan yang dipilihnya pada Pemilu 2004 lampau. Ia memilih calon yang dikenalnya sangat merakyat. Namun apa lacur, “Dia berubah setelah duduk di kursi dewan,” kata pedagang keliling ini. “Selama menjadi anggota dewan, dia tidak pernah menepati janjinya semasa kampanye dulu.”

Saini berlaku apatis pada pemilihan kali ini. Parahnya, Saini mengklaim mayoritas caleg sekarang ini tak akan mampu menepati janji-janji yang ditebar selama masa kampanye. Pun begitu, warga Peunayong ini memilih menyambangi lokasi pemungutan suara, hanya untuk mengantar sang istri mencontreng. “Tak enak sama Pak Lurah,” katanya, tersenyum.

Hal senada juga dilakukan Yanti 19 tahun, walau baru pemilu kali ini namanya terdaftar sebagai pemilih, namun dia memilih tidak datang ke TPS dan memilih bermalas-malasan di rumah pada saat yang lainnya menyalurkan aspirasi politiknya. “Malas datang ke TPS, pemilunya rumit, pake antri lagi,” kata mahasiswi fakultas keguruan ini.

Besarnya kertas suara, serta pengetahuan yang minim tentang latar belakang para calon legislatif, menjadi alasan Yanti memilih golput. Uniknya dia mengaku mengikuti sosialisasi cara memilih bagi pemula, yang diprakarsai KIP Aceh di kampus IAIN Arraniry jelang pemilu.
Mahfud, Saini dan Yanti, merupakan bagian dari warga yang memilih mengabaikan hak suaranya dalam pemilihan 9 April lalu atau lazim disebut golongan putih (golput). Di Banda Aceh, jumlah mereka yang berada di saf ini mencapai 51.586 orang atau hampir 40 persen, dari total calon pemilih 174.858 orang. Angka ini terbilang besar. Bandingkan dengan angka golput di tingkat provinsi yang hanya 23 persen.

Tingginya angka golput ini mengkhawatirkan. Sebab, sikap politik ini lahir dari sikap apatis yang diperlihatkan warga. Sosiolog Universitas Syiah Kuala Ahmad Humam Hamid menyebutkan, para pemilih dewasa ini sudah pintar dan tak lagi termakan janji-janji yang diumbar para caleg sebelumnya,

“Mereka kecewa, karena calon yang dia pilih sebelumnya tidak bisa membawa perubahan seperti yang dijanjikan,” ujar Humam.

Humam tak sepenuhnya melihat membengkaknya angka golput karena sikap apatis tadi. Ada juga, menurut Humam, yang mengabaikan hak pilihnya karena memang bisa dikatakan sebagai pemilih rasional, yang kebanyakan tinggal di perkotaan. Namun, “Mereka akan memilih calon, sesuai dengan hati nuraninya,” kata mantan calon gubernur dalam pemilihan kepala daerah Desember 2006 lalu.

Tak berlebihan analisis Humam ini. Sejumlah pemilih mengaku menggunakan hak pilih karena ada teman yang menjadi calon anggota legislatif. T. Patria misalnya. Ia hanya mencontreng kertas suara untuk pemilihan parlemen di tingkat kota. Sementara kertas suara untuk tingkat provinsi, pusat, dan anggota senator, dibiarkan terbungkus rapi seperti sedia kala saat diserahkan petugas.

“Untuk DPD dan DPR RI, serta DPRA, saya tidak pernah buka, sampai dimasukkan ke kotak suara,” ujar pengusaha muda ini. “Sayang, jagoan saya tidak mendapat kursi.”

Persoalan warga menjadi golput juga tak sepenuhnya karena alasan sikap politik. Humam Hamid menilai, amburadulnya proses pendataan pemilih juga menyumbang sebab. Jamak dikabarkan media, banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih. Belum lagi, proses pencontrengan yang rumit dan merepotkan: kertas suara ukuran jumbo dan calon legislatif yang ribuan.

“Ribet sih, kertas suaranya terlalu besar, kenapa tidak dibuat versi kecil aja,” kata Felly Nazilah. Walau demikian Felly mengaku pulang dari Sigli khusus untuk ikut Pemilu. Walau rumit dengan besarnya kertas suara, dia mengaku senang dapat menggunakan aspirasi politiknya.

Dokter berusia 27 tahun ini “terpaksa” memilih karena namanya masuk dalam DPT. “Kalau nggak masuk, nggak milih sih,” ujar Felly. Dia mengaku mencontreng dengan benar ke empat kertas suara yang disodor panitia. “Rugi dong, masa udah capek-capek antri di TPS ngak milih semua,” ujarnya polos.


***

KECAMATAN Kutaraja keluar sebagai “juara” karena menyumbang angka golput terbesar di Banda Aceh. Di kecamatan yang dipimpin Ria Jelmanita ini, sebanyak 49,5 persen dari 5.765 jiwa yang masuk DPT, mengabaikan hak suaranya. Angka ini turun dibandingkan jumlah kelompok putih pada pemilihan kepala daerah Desember 2006 lalu yang mencapai 64,1 persen dari 4.161 pemilih

Tapi, Ria menolak disebutkan wilayahnya penyumbang terbesar bagi kelompok putih. Menurutnya, banyak warga yang terdaftar di DPT tak lagi berdomisili di kecamatan itu. “Mereka umumnya pindah tempat tinggal karena mendapat rumah bantuan, namun masih terdaftar sebagai pemilih di kelurahan asal,” jelasnya.

Selain itu ada juga warga yang telah meninggal masuk dalam DPT, dan ada juga yang namanya ganda. Sedangkan masyarakat yang sudah wajib memilih ada yang tidak masuk dalam daftar memilih, “Kita telah memperbaiki daftar pemilih tetap, untuk pemilihan presiden mendatang.”

Menurut dia, partisipasi masyarakat di kecamatannya tinggi, dalam mengikuti ritual lima tahunan itu. “Buktinya pada simulasi masyarakat sangat antusias,” terang camat wanita di Kota Banda Aceh ini.

Sementara Manawarsyah ketua Pokja Sosialisasi komisi independen pemilu (KIP) Banda Aceh, manapik, banyaknya Golput dan suara tidak sah di Banda Aceh karena gagalnya sosialisasi yang pihaknya lakukan.

Menurut dia, KIP telah melakukan berbagi upaya, untuk membangun partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak politiknya. “Sosialisasi telah dilakukan KIP, baik dengan pertemuan-pertemuan, selebaran maupun melalui media,” kata dia

Munawarsyah mengungkapkan, adanya suara tidak sah pada pemilu legislatif lalu bukan dikarenakan kurangnya pemahaman dengan cara memilih, tapi suara rusak tersebut di sengaja oleh pemilih, karena terjadi perbedaan angka untuk DPRK, DPRA, DPD dan DPR-RI

“Malah di kertas suara, pemilih meneluarkan kreasinya, ada yang menggambar, ‘misalnya menambah kumis caleg’, dan juga ada yang menulis ‘Wakil Rakyat hana jelas’, ‘ Hana Muesoe-soe kajuet keucalon dewan,” kata dia

Sedangkan untuk warga yang tidak datang ke TPS, karena banyak pemilih di Banda Aceh dari kalangan mahasiswa dan bertepatan dengan libur panjang, maka diperkirakan mereka memilih pulang ke kampungnya.

Apa pun alasan KIP, Mahfud dan Saini masih tetap pada keyakinannya untuk bergolput. Bahkan, sikap ini juga akan ditunjukkan pada pemilihan presiden Juli mendatang. Dengan alasan calon atau pasangan calon yang maju masih juga pemain lama

“Dari jaman dulu, siapapun yang duduk di dewan tidak ada yang bekerja ikhlas demi rakyat kalau tidak ada kepentingan, mereka hanya pengemis terhormat menjelang pemilu,” demikian ujar Mahfud.
***
Read more

Razia Makanan

Petugas Balai Pengawasan Obat dan Makanan dibantu polisi merazia berbagai jenis makanan kadaluarsa dan yang tidak memiliki izin dagang di Indonesia, Banda Aceh, Kamis (27/08).
Read more

Ekstra Kurikuler


Siswi Sekolah Dasar Negeri 1 Banda Aceh mengaji di ruang kelasnya, Rabu (26/8). Selain mengaji, berbagai kegiatan keagamaan juga mereka pelajari dalam kegiatan ekstrakurikuler selama Ramadhan.
Read more

Kontak

Suparta Arz
Phone: [+62] 08126934914
Email: suparta_arz@yahoo.co.id
YM: suparta_arz
Read more

Tentang Aku


Akhir tahun 1981 kedua orang tuaku Rembuk dengan pasangan nenek kakekku, mereka sepakat menambatkan nama SUPARTA pada bayi mungilnya yang lahir 25 September itu. Entah dari mana ide Emak dan Abu-ku memberi nama yang menurut tetangganya (Geumpang), aneh dan tak mengandung arti, (kebiasaan emak, abu, dan abu chik di kampungku memberi nama anak/cucunya, selalu berhubungan dengan Al-quran atau ke-Arab-Araban).
``
Soal nama yang aneh, aku tak sempat menanyakan asal-usulnya pada kedua orang tuaku, ketika aku menginjak remaja dan sedang belajar di Pesantren Darussa’adah Tuepin Raya Pidie, kedua orang tuaku dipanggil ke sisi-Nya (ya Allah ampunilah dausa kedua orang tuaku, berikan keduanya keluasan kubur) sebelum sempat kutanyakan soal nama itu. Supaya agak dan ada ke-Arab-Araban, saat di Pesantren itulah aku menambah nama belakangku dengan Arz (Abdul Razak nama Abu-ku, itu!) kemudian namaku menjadi SUPARTA ARZ, hal itu kulakukan agar tak banyak pertanyaan aneh dan nyeleneh dari Ustad dan Santri lainnya.

Dalam mengenyam pendidikan menurut kawan-kawan, aku juga Aneh, dari SD hingga SMA aku tak pernah betah di satu sekolah, alias sejak SD, SMP dan SMA aku selalu tidak menamatkannya di sekolah yang sama. Yang paling menggelikan teman-temanku ketika aku pindah dari SMU 5 Banda Aceh (yang sempat berubah nama jadi SMU DKI Jakarta, bikin malu alumni adja) ke Pesantren.

Soal aku jadi santri itu ulah Abangku (walau kemudian aku jadi betah, dan rindu nyantri), sewaktu hari (Saat akhir semester kelas I SMU) Abangku mendapati aku sedang teler di kamar kos berdua pacarku. Sejak saat itu Abangku tidak pernah ngomong dan peduli lagi sama aku, yang aku salut dia tidak pernah melapor tentang kehidupan pribadiku sama Ortu. Sebulan sejak itu, nama ku tidak ada lagi dalam absensi kelas 1.1 (Kelas inti oi) di SMU 5 Banda Aceh. Abangku yang mengurus semua berkas Kepindahanku ke Dayah, dan sejak saat itulah aku taubat dan taat (Walau kadang jarang ibadah, tapi berjanji tidah menambah dosa). Setalah menamatkan studi SMU di Dayah, aku melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, jurusan Manajemen, fokus Marketing sampai bertitel Sarjana Ekonomi (SE).

Setahun pasca tamat Kuliah dan sempat nganggur atas saran Zainal Arifin M. Nur, melamar ke Harian Aceh (Dia juga yang mengantarku dan merekomku ke pimpinan perusahaan H), sesuai disiplin ilmu aku melamar di marketing, tapi kemudian diterima untuk posisi Wartawan (meraba di dunia gelap dari pada jadi pengangguran). Walau tak punya dasar jurnalistik aku terus belajar dan belajar. Agustus 2009 genap dua tahun pengabdianku di Harian Aceh.

Awalnya aku tak begitu tertarik dengan dunia fotografi, namun kejadian di simpang Jambo Tape, (berebutan kamera kantor yang hendak kupinjam untuk bergaya sama rekan kerjaku. Sampai saling memaki di depan umum karena dia tidak mengizinkanku memegangnya) titik awal ketertarikanku pada dunia mengintip ini.

Sejak saat itu, aku bertekat ingin punya kamera sendiri dan berjanji tak pernah meminta pinjam milik kantor. Syukur 6 bulan bekerja, aku berhasil mengkredit kamera Canon 400 D, (pertengahan 2010 baru lunas kreditnya). Sejak saat itu ketertarikanku mulai tumbuh. Dan sampai kini kamera kredit itulah tak gendong ke mana-mana. Pada akhir 2008, aku bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, sejak saat itu cakrawalaku mulai terbuka, asal ada peluang, setiap pelatihan jurnalistik aku ikuti pertengahan 2009 aku juga menjadi kontributor acehkita.com.

Soal hobby, selain motret, apapun yang orang banyak suka, aku ikut suka, termasuk soal selera musik, film, bacaan, dll [*]
Read more