PINGGIRAN sungai Alue Suloh berubah wujud. Pondok-pondok kecil berdiri di pasir dan bebatuan sungai yang berjarak 28 kilometer dari pusat Kecamatan Geumpang, Pidie. Hutan di sekitar sungai berair jernih itu tak lagi hanya dihiasi irama kicauan burung. Ayunan linggis dan cangkul para penggali pasir bersahutan silih-berganti, membentuk irama tersendiri.
Di belantara hutan tropis yang dingin, pria, wanita –bahkan anak-anak—mengadu nasib mencari emas di antara bebatuan dan pasir di aliran sungai itu.
Aktivitas penambangan logam mulia ini sudah berlangsung dua bulan belakangan ini. Para pencari emas tak hanya datang dari Geumpang: ada yang datang dari Tangse, Mane, bahkan dari Meulaboh (Aceh Barat) sekalipun.
Tak ada klaim wilayah. Yang ada hanya kesepakatan tak tertulis di antara para pendulang: tak boleh membawa alat berat atawa mesin untuk mengeksploitasi emas. Mendulang harus dilakukan secara tradisional, menggunakan linggis, cangkul, dan skop. Jika kesepakatan ini dilanggar, para pendulang akan diusir.
Kesepakatan ini membuat lokasi eksploitasi emas ini tak ricuh. Irman, 32 tahun, sudah berminggu-minggu mencari keberuntungan di aliran sungai ini. Jika mujur, ia bisa mendapatkan lima gram emas.
“Hampir tak ada pencari emas yang pulang dengan tangan kosong,” kata warga Geumpang ini. “Per gram emas yang kami dapatkan dibeli 300 ribu rupiah per gram.”
Kandungan emas tak hanya ditemukan di aliran sungai Alue Suloh ini. Sebuah survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan, kandungan emas juga tersebar di Kecamatan Mane dan Tangse. Luasnya mencapai 50.000 hektar.
Pemerintah sudah memberi lampu hijau bagi lima perusahaan penambangan untuk mengeruk emas di tiga kecamatan ini. Kelima perusahaan yang beroleh izin penambangan yaitu PT Bayu Nyohoka, PT Krueng Bajikan, PT Parahita Sanu Setia, PT Bayu Kamona Karya, dan PT Magelanik Garuda Kencana.
Jika lima perusahaan ini memulai eksplorasi, Irman dan puluhan warga yang selama ini menambang secara tradisional, mungkin, hanya bisa menonton dari jauh hasil bumi daerah mereka dikeruk. []
Di belantara hutan tropis yang dingin, pria, wanita –bahkan anak-anak—mengadu nasib mencari emas di antara bebatuan dan pasir di aliran sungai itu.
Aktivitas penambangan logam mulia ini sudah berlangsung dua bulan belakangan ini. Para pencari emas tak hanya datang dari Geumpang: ada yang datang dari Tangse, Mane, bahkan dari Meulaboh (Aceh Barat) sekalipun.
Tak ada klaim wilayah. Yang ada hanya kesepakatan tak tertulis di antara para pendulang: tak boleh membawa alat berat atawa mesin untuk mengeksploitasi emas. Mendulang harus dilakukan secara tradisional, menggunakan linggis, cangkul, dan skop. Jika kesepakatan ini dilanggar, para pendulang akan diusir.
Kesepakatan ini membuat lokasi eksploitasi emas ini tak ricuh. Irman, 32 tahun, sudah berminggu-minggu mencari keberuntungan di aliran sungai ini. Jika mujur, ia bisa mendapatkan lima gram emas.
“Hampir tak ada pencari emas yang pulang dengan tangan kosong,” kata warga Geumpang ini. “Per gram emas yang kami dapatkan dibeli 300 ribu rupiah per gram.”
Kandungan emas tak hanya ditemukan di aliran sungai Alue Suloh ini. Sebuah survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan, kandungan emas juga tersebar di Kecamatan Mane dan Tangse. Luasnya mencapai 50.000 hektar.
Pemerintah sudah memberi lampu hijau bagi lima perusahaan penambangan untuk mengeruk emas di tiga kecamatan ini. Kelima perusahaan yang beroleh izin penambangan yaitu PT Bayu Nyohoka, PT Krueng Bajikan, PT Parahita Sanu Setia, PT Bayu Kamona Karya, dan PT Magelanik Garuda Kencana.
Jika lima perusahaan ini memulai eksplorasi, Irman dan puluhan warga yang selama ini menambang secara tradisional, mungkin, hanya bisa menonton dari jauh hasil bumi daerah mereka dikeruk. []
0 komentar:
Posting Komentar