Matahari belum turun tanah, saat Nurmalawati bersiap-siap mengantar dagangannya ke pasar Lambaro Kaphe, Aceh Besar. Perempuan 45 tahun itu sudah harus tiba di pasar sebelum salat Subuh kelar. Di pasar, ia menjajakan kolang kaling, yang sering dicari warga di bulan mulia ini.
Butiran putih-kenyal ini menjadi primadona. Ia disuguhkan menjadi berbagai macam jenis olahan: sebagai isian kolak, manisan, atau campuran minuman dingin saat berbuka puasa. Kendati tak bernutrisi hebat, kolang-kaling menjadi pelancar pencernaan.
Nurmalawati memanfaatkan betul ceruk pasar kolang-kaling di bulan suci ini. Saban hari, warga Lam Aling, Kecamatan Kutabaro, ini mampu menjual 50 kilogram kolang-kaling. Tapi, ia tak menjual eceran. Ia hanya menjual ke pengecer. Per kilogramnya dihargai 1.500 rupiah. Sebenarnya, puluhan warga Lam Aling mendadak jadi pedagang kolang-kaling pada bulan Ramadan.
Kolang-kaling (dalam bahasa Belanda disebut glibbertkjes) dibuat dari buah aren. Sebelum menjadi butiran putih-bening, buah aren nyaris tak bernilai. Sebelum Ramadan, buah aren sering dibuang begitu saja. Apalagi getahnya gatal menyengat.
Untuk menghilangkan getah gatal ini, Nurmalawati –dan juga pembuat kolang-kaling lain—terlebih dahulu merebus buah aren. Setelah direbus, buah aren dibelah dan isinya dikeluarkan. Butiran putih itu kemudian dibersihkan, sebelum akhirnya dijual ke pasar: dan kita santap!
Bagi warga Lam Aling, memproduksi kolang-kaling sudah menjadi tradisi. Saban tahun mereka memproduksi dalam partai besar. Ini menjadi penopang ekonomi keluarga menyambut lebaran –yang sudah di depan mata. []
Butiran putih-kenyal ini menjadi primadona. Ia disuguhkan menjadi berbagai macam jenis olahan: sebagai isian kolak, manisan, atau campuran minuman dingin saat berbuka puasa. Kendati tak bernutrisi hebat, kolang-kaling menjadi pelancar pencernaan.
Nurmalawati memanfaatkan betul ceruk pasar kolang-kaling di bulan suci ini. Saban hari, warga Lam Aling, Kecamatan Kutabaro, ini mampu menjual 50 kilogram kolang-kaling. Tapi, ia tak menjual eceran. Ia hanya menjual ke pengecer. Per kilogramnya dihargai 1.500 rupiah. Sebenarnya, puluhan warga Lam Aling mendadak jadi pedagang kolang-kaling pada bulan Ramadan.
Kolang-kaling (dalam bahasa Belanda disebut glibbertkjes) dibuat dari buah aren. Sebelum menjadi butiran putih-bening, buah aren nyaris tak bernilai. Sebelum Ramadan, buah aren sering dibuang begitu saja. Apalagi getahnya gatal menyengat.
Untuk menghilangkan getah gatal ini, Nurmalawati –dan juga pembuat kolang-kaling lain—terlebih dahulu merebus buah aren. Setelah direbus, buah aren dibelah dan isinya dikeluarkan. Butiran putih itu kemudian dibersihkan, sebelum akhirnya dijual ke pasar: dan kita santap!
Bagi warga Lam Aling, memproduksi kolang-kaling sudah menjadi tradisi. Saban tahun mereka memproduksi dalam partai besar. Ini menjadi penopang ekonomi keluarga menyambut lebaran –yang sudah di depan mata. []
0 komentar:
Posting Komentar