Deru ombak bergemuruh menerjang tepian dan matahari setinggi galah. Dua pria berkulit gelap mendayung sampan, menabur jaring di sela gulungan gelombang laut. Jaring sepanjang 400 meter tersebut, ditabur berbentuk setengah lingkaran. Siap ditabur tambang mulai ditarik pelan. Simpul tambang di ujung jaring dibiarkan terurai dan dipegang empat pria dari bibir pantai. Sementara empat pria lainnya menunggu simpul ujung jaring satunya lagi dari sampan. Jaring itu milik Rustam (45), warga Kampung Jawa. Dulu, dia adalah nelayan yang memburu ikan di laut lepas, namun tsunami ikut melumat boat miliknya. Belasan anak buahnya yang selamat dari gelombang raya kehilangan pekerjaan.Pascatsunami, uang sebesar Rp5 juta dari sisa tabungannya, Rustam membeli jaring pukat plus sampan. Pekerja setianya dikumpulkan kembali. Bedanya, mereka tidak lagi ke laut lepas, tapi mengadu nasib dengan menarik pukat di bibir pantai di ujung Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kampung Jawa.“Semua pekerja saya korban tsunami, bahkan ada yang semua sanak familinya hilang saat tsunami,” kata Rustam. Mereka semua warga Gampong Jawa. Sekarang dia tidak memilih-pilih tenaga kerja, siapa saja yang membantu menarik jaring pasti dapat bagian.
Jaring hampir selesai ditarik, dari dalam kerucut di tengah jaring, ikan-ikan menggelepar. “Ah… golkar semua,” kata Rustam yang baru saja turun dari boat. Golkar yang dia maksud adalah ikan kecil-kecil berwarna kuning.Soal rejeki, Rustam mengaku tak pasti. Kadang dapat banyak, malah kadang hanya cukup untuk dimasak sendiri. Menurut dia, jaring itu masih terlalu pendek. “Kalau ada modal saya akan menambah lebih panjang lagi,” kata dia.
Semasa tanggap darurat, bantuan pemberdayaan ekonomi baik dari NGO maupun LSM lokal tak pernah menyambanginya. Namun dia tak terlalu berharap pada bantuan tersebut. “Tapi kasian, banyak bantuan boat tidak dipakai, kenapa tak dibagi buat nelayan-nelayan seperti kami,” keluhnya.Meskipun demikian tak surut niatnya untuk melabuhkan pukat kembali, kalau ombak bersahabat, sehari sampai delapan kali pukat dilabuh. “Soal rezeki diatur yang di atas, kita harus berusaha,” kata pria yang terdampar sampai ke Taman Ratu Safiatuddin saat tsunami lima tahun silam.
Jaring hampir selesai ditarik, dari dalam kerucut di tengah jaring, ikan-ikan menggelepar. “Ah… golkar semua,” kata Rustam yang baru saja turun dari boat. Golkar yang dia maksud adalah ikan kecil-kecil berwarna kuning.Soal rejeki, Rustam mengaku tak pasti. Kadang dapat banyak, malah kadang hanya cukup untuk dimasak sendiri. Menurut dia, jaring itu masih terlalu pendek. “Kalau ada modal saya akan menambah lebih panjang lagi,” kata dia.
Semasa tanggap darurat, bantuan pemberdayaan ekonomi baik dari NGO maupun LSM lokal tak pernah menyambanginya. Namun dia tak terlalu berharap pada bantuan tersebut. “Tapi kasian, banyak bantuan boat tidak dipakai, kenapa tak dibagi buat nelayan-nelayan seperti kami,” keluhnya.Meskipun demikian tak surut niatnya untuk melabuhkan pukat kembali, kalau ombak bersahabat, sehari sampai delapan kali pukat dilabuh. “Soal rezeki diatur yang di atas, kita harus berusaha,” kata pria yang terdampar sampai ke Taman Ratu Safiatuddin saat tsunami lima tahun silam.
0 komentar:
Posting Komentar